5 tahap cinta menurut agama hindu kuno

Ada mitos indah tentang asal usul cinta dalam agama Hindu. Awalnya, ada makhluk luar biasa – Purusha, yang tidak mengenal rasa takut, keserakahan, nafsu, dan keinginan untuk melakukan apapun, karena Semesta sudah sempurna. Dan kemudian, pencipta Brahma mengeluarkan pedang sucinya, membagi Purusha menjadi dua. Surga dipisahkan dari bumi, kegelapan dari terang, kehidupan dari kematian, dan pria dari wanita. Sejak itu, masing-masing bagian berusaha untuk bersatu kembali. Sebagai manusia, kita mencari persatuan, itulah cinta.

Bagaimana cara menjaga nyala cinta yang memberi kehidupan? Orang bijak kuno India menaruh perhatian besar pada masalah ini, mengakui kekuatan romansa dan keintiman dalam merangsang emosi. Namun, pertanyaan terpenting bagi mereka adalah: apa yang ada di balik passion tersebut? Bagaimana cara menggunakan daya tarik yang memabukkan untuk menciptakan kebahagiaan yang akan bertahan bahkan setelah api aslinya padam? Para filsuf telah mengajarkan bahwa cinta terdiri dari serangkaian tahapan. Fase-fase pertama tidak harus berlalu begitu seseorang menjadi lebih tercerahkan. Namun, tinggal lama di langkah awal pasti akan menimbulkan kesedihan dan kekecewaan.

Penting untuk mengatasi pendakian tangga cinta. Pada abad ke-19, rasul Hindu Swami Vivekananda berkata: .

Nah, itulah lima tahapan cinta dari sudut pandang agama Hindu

Keinginan untuk menyatu diekspresikan melalui ketertarikan fisik, atau kama. Dari segi teknis, kama berarti “keinginan untuk merasakan objek”, tetapi biasanya dipahami sebagai “hasrat seksual”.

Di India kuno, seks tidak dikaitkan dengan sesuatu yang memalukan, tetapi merupakan aspek dari keberadaan manusia yang bahagia dan objek studi yang serius. Kama Sutra, yang ditulis pada zaman Kristus, bukan hanya seperangkat posisi seksual dan teknik erotis. Sebagian besar buku ini adalah filosofi cinta yang berhubungan dengan hasrat dan bagaimana mempertahankan dan memupuknya.

 

Seks tanpa keintiman sejati dan pertukaran menghancurkan keduanya. Itulah sebabnya para filsuf India memberikan perhatian khusus pada komponen emosional. Mereka telah menghasilkan kosakata yang kaya kata-kata yang mengungkapkan banyak sekali suasana hati dan emosi yang terkait dengan keintiman.

Dari "vinaigrette" perasaan ini, lahirlah shringara, atau romansa. Selain kesenangan erotis, kekasih bertukar rahasia dan mimpi, saling menyapa dengan penuh kasih sayang, dan memberikan hadiah yang tidak biasa. Itu melambangkan hubungan pasangan dewa Radha dan Krishna, yang petualangan romantisnya ditampilkan dalam tarian, musik, teater, dan puisi India.

 

Dari sudut pandang filsuf India, . Secara khusus, ini merujuk pada perwujudan cinta dalam hal-hal sederhana: senyuman di kasir, sebatang coklat untuk yang membutuhkan, pelukan yang tulus.

, — kata Mahatma Gandhi.

Welas asih adalah manifestasi paling sederhana dari cinta yang kita rasakan untuk anak atau hewan peliharaan kita. Ini terkait dengan matru-prema, istilah bahasa Sanskerta untuk cinta keibuan, yang dianggap sebagai bentuk yang paling tanpa syarat. Maitri melambangkan kasih sayang keibuan yang lembut, tetapi diungkapkan kepada semua makhluk hidup, bukan hanya kepada anak kandungnya. Kasih sayang untuk orang asing tidak selalu datang dengan sendirinya. Dalam praktik Buddha dan Hindu, ada meditasi, di mana kemampuan untuk mengharapkan kebahagiaan semua makhluk dikembangkan.

Sementara welas asih adalah langkah penting, itu bukan yang terakhir. Di luar interpersonal, tradisi India berbicara tentang bentuk cinta impersonal di mana perasaan tumbuh dan diarahkan pada segalanya. Jalan menuju keadaan seperti itu disebut "bhakti yoga", yang berarti pengembangan kepribadian melalui cinta kepada Tuhan. Bagi orang yang tidak beragama, bhakti mungkin tidak terfokus pada Tuhan, tetapi pada Kebaikan, Keadilan, Kebenaran, dan sebagainya. Pikirkan para pemimpin seperti Nelson Mandela, Jane Goodall, Dalai Lama, dan banyak lainnya yang cintanya pada dunia luar biasa kuat dan tidak egois.

Sebelum tahapan ini, setiap tahapan cinta diarahkan ke dunia luar yang mengelilingi seseorang. Namun, di atasnya, ia membuat lingkaran terbalik ke dirinya sendiri. Atma-prema dapat diterjemahkan sebagai keegoisan. Ini tidak boleh disamakan dengan keegoisan. Artinya dalam praktik: kita melihat diri kita sendiri dalam diri orang lain dan kita melihat orang lain dalam diri kita sendiri. “Sungai yang mengalir di dalam dirimu juga mengalir di dalam diriku,” kata penyair mistis India Kabir. Mencapai Atma-prema, kita memahami: mengesampingkan perbedaan kita dalam genetika dan asuhan, kita semua adalah manifestasi dari satu kehidupan. Kehidupan yang dihadirkan mitologi India dalam bentuk Purusha. Atma-Prema hadir dengan kesadaran bahwa di luar kesalahan dan kelemahan pribadi kita, di luar nama dan riwayat pribadi kita, kita adalah anak-anak Yang Mahakuasa. Ketika kita mencintai diri kita sendiri dan orang lain dalam pemahaman yang mendalam namun impersonal, cinta kehilangan batasannya dan menjadi tanpa syarat.

Tinggalkan Balasan